Berpikir Sederhana

Di dunia ini siapa yang tidak ingin menuntut ilmu setinggi langit. Tentu pasti semuanya ingin punya ilmu yang banyak. Maka dari itu banyak orang yang kuliah di bidang studi yang mereka inginkan. Namun sadarkah kita bahwa setinggi – tingginya ilmu – ilmu yang kita pelajari, serumit – rumitnya ilmu yang kita pelajari terkadang tak lebih baik dari sekedar berpikir sederhana.

Di artikel sebelumnya misalnya, saya sempat menulis tentang kesederhanaan berpikir seorang Michael Dell. Kesuksesannnya adalah salah satu buktinya.

Salah satu dosen saya pun pernah berkata bahwa, jangan sampai karena mempelajari ilmu sipil kita bisa teracuni oleh ilmu sipil. Contohnya adalah dalam menghitung struktur bangunan pasti harus ada perhitungan strukturnya berdasarkan beban yang akan dipikul struktur tersebut, nah ketika kita naik pohon tentu tak perlu dihitung dulu berapa bebannya, gaya lintangnya, gaya momennya, lendutannya, dsb. Tentu yang bermain di sana adalah logika dan perasaan.

Saat itu badan antariksa NASSA pernah melakukan suatu penelitian untuk membuat bolpoin yang bisa digunakan di luar angkasa. Di luar angkasa sendiri bolpoin tidak bisa digunakan karena tintanya tidak keluar akibat tak ada gaya gravitasi. Penelitian itu sendiri kabarnya ternyata menghabiskan biaya yang sangat besar entah ribuan dolar atau jutaan dolar. Tapi yang pasti pada saat itu mereka sudah terkurung dengan ilmu rumit yang telah mereka pelajari. Yang mereka pikirkan ketika masah datang adalah riset. . .riset. . .dan riset. Tapi saat itu tak terlintas dari pikiran mereka mengapa tak menggunakan pensil saja, atau alat tulis yang sejenisnya untuk menulis di luar angkasa. Jika saja hal itu sempat terpikirkan tentu mereka bisa menghemat biaya yang sangat mahal itu.

Dalam hal – hal tertentu berpikir rumit itu memang perlu. Tapi jauh lebih baik apabila mencari solusi dengan berpikir lebih sederhana.